Waket I DPRD Sulteng Siap Koordinasi Dengan JATAM Terkait Polemik Tambang Batu Gamping Di Bangkep

PALU – Wakil Ketua I DPRD Sulawesi Tengah (Sulteng), Aristan, menyatakan akan kembali menjalin komunikasi dengan Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) Sulteng dalam rangka menindaklanjuti hasil audiensi bersama terkait penolakan terhadap rencana aktivitas pertambangan batu gamping yang digelar beberapa waktu lalu.

“Wa’alaikumsalam. Mohon maaf, nanti saya koordinasi kembali dengan Direktur JATAM Sulteng untuk kesiapan pelaksanaan tindak lanjut audiensi yang lalu,” kata Aristan melalui pesan WhatsApp kepada media ini, Rabu (16/07).

Sebelumnya, Aristan dalam pertemuan itu menyampaikan bahwa pihak DPRD akan menggelar rapat dengar pendapat (RDP) bersama Komisi III untuk menindaklanjuti aspirasi warga dan JATAM.

Dalam pertemuan tersebut, JATAM Sulteng dan warga Desa Lelang Matamaling, Kecamatan Buko Selatan, Kabupaten Banggai Kepulauan (Bangkep), kembali menyuarakan penolakan terhadap rencana aktivitas pertambangan batu gamping. Mereka juga menyerahkan hasil kajian investigatif yang memuat dugaan pelanggaran dalam proses penerbitan izin di wilayah yang termasuk kawasan karst.

Direktur JATAM Sulteng, Taufik, menegaskan bahwa penerbitan Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP) di wilayah Bangkep dinilai bertentangan dengan berbagai regulasi, di antaranya Peraturan Daerah (Perda) tentang Kawasan Karst serta Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 53 Tahun 2019 yang menetapkan wilayah tersebut sebagai kawasan konservasi.

“Dugaan pelanggaran dalam penerbitan WIUP di Desa Lelang Matamaling bisa menjadi landasan hukum untuk pencabutan izin. Temuan dalam kajian kami menunjukkan adanya indikasi ketidaksesuaian dengan peraturan yang berlaku,” jelas Taufik saat dimintai tanggapan terkait respons Aristan.

Ia juga menyoroti ancaman serius terhadap keberlangsungan hidup masyarakat desa jika tambang tetap dijalankan.

“WIUP ini seharusnya dicabut karena membahayakan sumber kehidupan warga. Termasuk potensi kerusakan sumber air bersih yang kami duga berada dalam area konsesi. Belum lagi ancaman terhadap wilayah pesisir, padahal hampir 70 persen warga di desa tersebut adalah nelayan,” tegasnya.

Saat ini, publik menantikan realisasi dari janji lembaga legislatif tersebut sebagai langkah konkret dalam merespons kekhawatiran masyarakat terhadap dampak pertambangan di wilayah kepulauan.

Reporter : Nasrullah
Editor      : Redaksi

Comment