Sejumlah Organisasi Di Morowali Sulteng Gelar Unjuk Rasa, Menolak Penggunaan Energi Fosil Di Kawasan Industri Nikel

PALU – Sejumlah organisasi lingkungan, termasuk WALHI Sulteng, Greenpeace, Hijau Semangka, GMNI Morowali, Komit Resist, KLK Morowali, dan Yayasan Tanah Merdeka, menggelar aksi simbolik di Taman Kota Fonuasingko, Kabupaten Morowali pada Kamis, (24/10/2024).

Aksi ini memprotes penggunaan energi fosil dalam kawasan industri nikel dan mendesak pemerintah untuk berkomitmen pada transisi energi bersih.

Peserta aksi membawa miniatur PLTU dan spanduk bertuliskan “Tiada arti pemimpin berganti tidak ada keadilan dalam hilirisasi”, “PLTU captive A Silent Killer In Morowali“, serta “Memilih bersuara”. 

Aksi ini menyoroti kontradiksi antara komitmen global pemerintah dalam transisi energi dan kenyataan di lapangan, yang masih melanggengkan penggunaan PLTU berbasis batubara.

PLTU Sebagai Ancaman Kesehatan dan Lingkungan

Wandi, juru kampanye WALHI Sulteng, menegaskan bahwa keberadaan PLTU di kawasan industri nikel telah membawa dampak buruk bagi masyarakat sekitar. 

“Kawasan IMIP di Desa Labota, misalnya, memiliki sekolah yang hanya berjarak 100–200 meter dari cerobong PLTU. Anak-anak mengalami gangguan kesehatan seperti batuk dan sesak napas akibat polusi,” ungkapnya. 

Selain itu, warga Dusun Kurisa, Desa Fatufia, mengeluhkan bau menyengat dan abu batu bara yang merusak lingkungan dan terumbu karang.

Kondisi serupa juga terjadi di kawasan Stardust Estate Investment (SEI), Morowali Utara. Desa Tanauge, salah satu desa terdampak, mengalami penurunan kualitas udara akibat abu batubara. 

“Sebanyak 1750 kasus ISPA tercatat pada 2023 di 10 desa di lingkar industri PT SEI,” tambah Wandi.

Tuntutan Penghentian Penggunaan Energi Fosil

Frangki Andrie K. Ragi dari Yayasan Tanah Merdeka menekankan pentingnya penghentian pembangunan PLTU baru dan mendorong transisi energi bersih. 

“Hilirisasi nikel harus memperhatikan keberlanjutan lingkungan. Buruh dan masyarakat tidak boleh menjadi korban dari ambisi segelintir orang. Ironisnya, buruh yang memutar roda ekonomi justru menjadi pihak yang paling dirugikan,” ujarnya.

Frangki juga menyoroti buruknya kondisi kerja di kawasan industri, di mana buruh harus bertaruh nyawa untuk memastikan produksi tetap berjalan. 

“Udara tercemar, tempat tinggal tak layak, dan pekerja harus menghirup udara yang tidak bersih. Pemerintah harus tegas menghentikan penggunaan energi kotor dan memastikan kesejahteraan serta perlindungan bagi masyarakat terdampak,” tutupnya.

Reporter : Nasrullah Malonda

Editor      : Redaksi

Comment